RANI-GRACIAS

=========================================================
May 12, 2011
13 Tahun Reformasi Jadi tukang dokumentasi
Filed under: Uncategorized — rani @ 11:05 am
Hari ini (12/05) tepat tigabelas tahun Reformasi digulirkan dimana Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri sebagai presiden mandataris MPR, atau istilah yang lebih popular waktu itu Soeharto “lengser keprabon”. Suatu peristiwa yang menandai berakhirnya pemerintahan Rezim Orde Baru dan dimulainya pemerintahan Rezim Orde Reformasi. Walaupun pemicu utama gerakan reformasi bermula dari Kampus Trisakti, ketika para mahasiswa tengah berdemo ditembaki oleh penembak jitu yang tidak dikenal sehingga menyababkan 4 mahasiswa tewas tertembus peluru. Tetapi di Kampus UI pun (Salemba dan Depok) aksi-aksi demo berlangsung juga. Tulisan di bawah ini pengalaman penulis pada saat menjelang kejatuhan Rezim Orde Baru, yang melakukan dokumentasi video kegiatan aksi-aksi demonstrasi di dalam kampus UI. Kalau ada pepatah mengatakan sejarah tidak akan berulang , atau ada juga kata-kata bijak yang menyatakan kesempatan tidak akan datang dua kali, maka peristiwa demo-demo reformasi di dalam kampus UI merupakan peristiwa langka yang barangkali tidak bisa diulang untuk kedua kalinya. Karena itulah ketika suasana politik di tanah air sedang hangat-hangatnya menuntut pengunduran diri Soeharto
sebagai mandataris MPR, maka ingatan penulis menerawang kepada peristiwa tahun 1966 ketika kampus UI pun hangat dengan demo-demo yang menuntut Soekarno meletakkan jabatan. Dokumentasi yang ada di arsip media cetak hanya terbatas pada berita dan foto-foto saja. Karena itu timbul pemikiran, melakukan dokumentasi dalam bentuk audio visual. Tetapi terbatas dokumentasi di lingkungan kampus, sebab kalau sampai ke luar kampus, pekerjaan utama di kampus akan sangat terganggu. Hanya ada satu kegiatan di luar kampus yang diikuti, yaitu saat pimpinan mahasiswa UI melakukan dialog dengan Fraksi ABRI di MPR (waktu itu Yunus Yosfiah pimpinan Fraksi ABRI). Beberapa demo yang didokumentasikan antara lain demo yang dilakukan di Kampus Salemba dan Depok. Demo ini pun macam-macam, ada yang diselenggarakan atas nama BEM UI, ada juga mengatasnamakan kelompok mahasiswa di luar Senat Mahasiswa (SM) UI. Ada juga Demo atas nama ILUNI. (waktu itu Ketua ILUNI Dijabat Hariadi Darmawan, dokter, pensiunan Mayor Jenderal TNI, jaman mahasiswa dulu pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Mahasiswa UI). Atas Prakarsa ILUNI, di Kampus Depok diselenggarakan “malam renungan reformasi” yang diadakan di tengah-tengah lapangan di depan Gedung Rektorat (Pusat Administrasi Universitas). Mengundang W.S Rendra dan beberapa seniman dan pemusik ternama waktu itu. Dalam satu kesempatan, demo besar-besaran dilakukan para mahasiswa UI, rombongan demo diajak ke Garbatama, pintu keluar kampus yang dekat ke jalan raya menuju ke Lenteng Agung. Tetapi sebelum keluar pagar kampus, pasukan polisi dan tentara sudah siap menghadang. Rombongan mahasiswa langsung berhadap-hadapan dengan polisi dan tentara yang sudah siaga juga. Selama kurang lebih setengah jam kedua kelompok saling siaga. Hanya tinggal sedikit saja “dipicu” atau diberi aba-aba “serbu”, bisa terjadi keadaan yang tidak bisa dikendalikan. Untunglah hal tersebut tidak terjadi. Yang terjadi adalah kelompok mahasiswa berbagai makanan dan minuman dengan aparat keamanan yang siap siaga didepan pagar kampus. Demo yang cukup mengundang partisipasi kampus juga terjadi di lapangan parker sebelah timur Balairung. Waktu itu yang melakukan orasi adalah Amien Rais dan Faisal Basri. Pada kesempatan demo di bundaran dekat Fakulas Psikologi, Pendi seorang karyawan FISIP (bagi mahasiswa yang sempat berkuliah di Kampus Rawamangun pasti mengenal dengan baik) bisa berdampingan dan melakukan orasi bersama Prof. Sri-Edi Swasono, Guru Besar FEUI. Di Kampus Salemba lain lagi. Situasi betul-betul terbuka, sehingga orang luar kampus bisa dengan leluasa bisa masuk dan nimbrung ikutan demo. Hal ini bisa dilihat dari wajah-wajah yang ikutan demo, sepertinya bukan “tampang mahasiswa”. Ada yang bawa handycam dan ada pula yang menyelipkan Koran di ketiaknya. Dalam satu kesempatan demo di halaman parkir FKUI, mantan Rektor UI Prof. M.K. Tadjudin turut melakukan orasi. Di Halaman FKUI pula, para mahasiswa beramai-ramai mencoret baliho yang bertuliskan “Selamat Datang di Kampus Perjuangan Orde Baru” menjadi “Selamat Datang di Kampus Perjuangan Rakyat”. (Belakangan kata “Rakyat” dihapus). Pada satu aksi demo yang berlangsung di bawah pohon beringin dekat gedung Pascasarjana UI, Prof.Dr. Mahar Mardjono sempat pula dihadirkan bersama dengan Prof.Dr. Sri-Edi Swasono. Demo yang cukup bersejarah terjadi di halaman Parkir FKUI, saat Ketua BEM UI Rama Pratama (Mahasiswa Akuntasi FEUI) melakukan orasi yang mendapat liputan secara meluas tidak saja dari media lokal tetapi juga media asing. Setelah demo tersebut yang diguyur hujan cukup lebat, wakil pimpinan mahasiswa UI melakukan pertemuan dengan anggota MPR di Senayan.
Rombongan wakil pimpinan mahasiswa UI yang pergi ke Senayan naik mobil bantuan dari pihak kepolisian dan selama perjalanan dari Kampus Depok ke Senayan mendapat pengawalan yang cukup ketat. Rektor UI (waktu itu) Prof.Dr. dr. Asman Budisantoso Ranakusuma dan wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan Drs. Umar Mansyur, MSc sangat mendukung delegasi mahasiswa pergi ke MPR. Selain fungsionaris SM UI, hampir semua Ketua Senat Mahasiswa Fakultas ikut ke Senayan. Terjadi dialog dan debat yang cukup seru antara mahasiswa dan para anggota Fraksi ABRI. Hari Sabarno (yang kemudian menjadi Mendagri) sempat emosional dengan komentar dari para mahasiswa UI. Rama Pratama mewakili para mahasiswa UI memberikan pernyataan kepada ketua Fraksi ABRI Yunus Yosfiah, yang menyatakan menolak Soeharto sebagai mandataris MPR. Peristiwa ini cukup penting, karena hanya delegasi mahasiswa UI yang diberi kesempatan bertemu dengan anggota MPR dan memberikan pernyataan secara resmi.
Sebelum delegasi mahasiswa UI memberikan pernyataan, beberapa wakil dosen UI sebetulnya sudah memberikan pernyataan penolakan Soeharto sebagai mandataris MPR. Bahkan pimpinan UI dengan beberapa dosen senior sudah bertemu dengan Soeharto di Cendana. Waktu itu Prof. Miriam Boediardjo atas nama pimpinan UI menyatakan , sangat menghargai bila Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden. Sayangnya peristiwa tersebut tidak sempat penulis dokumentasikan. Dan hingga hari ini tidak kemana harus mencari dokumentasi audio visual saat-saat bersejarah tersebut. Setelah “hingar bingar” aksi-aksi demo usai, UI pun tidak tinggal diam. Berbagai simposium satelit dilakukan di kampus, dengan mengundang para pakar dalam bidangnya masing-masing, untuk memberikan masukan kepada pemerintahan baru, permasalahan apa saja yang harus segera dibenahi. Hasil berbagai simposium itu dirangkum dalam satu rangkuman eksekutif dalam sebuah buku dan diberikan kepada pemerintah. Ini mengingatkan peristiwa tahun 1966, ketika Orde Lama Tumbang, di kampus UI salemba diadakan seminar nasional angkatan darat yang membicarakan arah masa depan bangsa. Berbagai video dokumentasi itu ada yang sudah ditransfer ke dalam bentuk digital (DVD), ada pula yang masih dalam bentuk pita kaset (video-8 dan VHS), ada puluhan kaset yang belum sempat dialihmediakan. Perlu waktu dan peralatan khusus yang kini peralatan tersebut sudah sudah susah untuk didapat di pasaran. Tampaknya di kalangan pimpinan UI kesadaran akan pentingnya dokumentasi audio visual masih sangat kurang, kalau tidak mau dikatakan tidak ada. Perhatian dan bantuan yang diperlukan masih sangat kurang untuk mendukung kegiatan dokumentasi. Kalau tidak mengingat pengetahuan untuk generasi mendatang, itu kaset-kaset sudah dibuang. Untunglah ada perpustakaan baru di UI, yang konon katanya ada ruangan audio visual, tetapi belum ada isinya.(12052011)

Mendokumentasikan “Hari-hari Terakhir”
Filed under: Uncategorized — rani @ 3:52 pm
Sangat jarang dan bahkan bisa dihitung dengan sebelah jari melakukan dokumentasi video kegiatan pemakaman seseorang. Bisa dihitung dengan sebelah tangan. Tetapi selalu ada nuansa lain yang punya makna mendalam tentang peristiwa pemakaman seseorang, seperti pengalaman berikut di bawah ini.
Pada tahun 1986 melakukan dokumentasi video pemakaman dr. Indro Suwandi, seorang perintis/pendiri Fakultas Ilmu Komputer UI. Waktu itu jenazah disemayamkan di selasar gedung Rektorat Kampus Salemba. Tidak banyak yang hadir pada saat penyemayaman jenazah. Mungkin karena namanya belum begitu dikenal di kalangan pimpinan UI. Lain misalnya pada saat pemakaman Prof.Dr. Nugroho Notosusanto meninggal dunia (1985). Jenazah disemayamkan di Aula Fakultas Kedokteran Kampus Salemba Jakarta. Tamu yang hadir juga beragam, tamu Rektor UI dan tamu Mendikbud. Penulis sempat mengikuti saat disemayamkan di rumah dinas Menteri, jalan Widya Chandra dan juga saat dilakukan pemakaman di TMP Kalibata. Pendokumentasian cukup lengkap dan rinci. Dan bahkan sempat juga mendokumentasikan kegiatan tahlilan 40 hari wafatnya di Wisma Yani Jalan taman Senopati Menteng.
Dokumentasi berikutnya, yaitu saat pemakaman anggota Mapala UI Norman Edwin dan Didik Nursyamsu, yang gugur saat melakukan pendakian gunung Aconcagua. Gunung tertinggi di Amerika Selatan (1990 an). Ketika di pemakaman Tanah Kusir, teman-teman Mapala penasaran apakah betul jenazah itu Norman Edwin, peti mati yang telah tertutup rapat, sempat dibongkar paksa, di dalam ambulance, sebelum dimakamkan. Sayangnya penulis tidak ikut masuk ke dalam ambulance. Pada pemakaman, kata sambutan dari Jacob Oetama pemimpin Umum Harian Kompas sangat mengesankan. Waktu pendakian itu Norman Edwin berstatus sebagai wartawan Kompas. Kebahagiaan seorang pendaki gunung sejati yaitu ketika tengah melakukan pendakian, maut menjemput. Rektor UI Prof. Dr.Mahar Mardjono, sempat pula diabadikan saat meninggal dunia. Dokumentasi dilakukan pada waktu di rumah dan saat shalat jenazah di mesjid dekat rumah almarhum. Bahkan di masjid itu pula, dilakukan serah terima jenazah dengan upacara kemiliteran lengkap, karena Prof. Mahar Mardjono sempat menjadi tentara pelajar (TRIP). Bertindak sebagai inspektur Upacara May Jen (pur) dr. Hariadi Darmawan. Karena sesuatu hal, penulis tidak bisa mengikuti upacara pemakaman di TMP Kalibata. Yang terakhir, saat Prof. Dr. Sujudi wafat, sempat melakukan dokumentasi waktu pelepasan jenazah di rumah dan saat pemakamannya di TMP Kalibata. Pada hari pertama meninggal tidak sempat didokumentasikan karena dalam perjalanan pulang dari bandara. Padahal waktu itu ada mantan Presiden Soeharto melayat dan cukup lama bertafakur di depan jenazah. Tidak seperti jenazah Prof.Dr. Nugroho Notosusanto, baik Jenazah Prof. Mahar Mardjono maupun jenazah Prof. Sujudi tidak sempat disemayamkan di Aula Fakultas Kedokteran Kampus Salemba .(070112)